Info Event - Mahasiswa Program Studi Humas Universitas Padjadjaran (Unpad) kembali menunjukkan kiprah kreatifnya lewat program Maroon Submission. Diselenggarakan oleh Departemen Akademik dan Keprofesian Himpunan Mahasiswa Humas Unpad, program ini menjadi ruang bagi mahasiswa untuk mengasah kemampuan menulis dan berpikir kritis dalam bidang kehumasan.
Tahun ini, Maroon Submission menggandeng Tempo.co sebagai mitra kolaborasi. Dengan mengusung tema seputar isu-isu public relations, mahasiswa Humas Unpad didorong untuk menuangkan ide dalam bentuk karya tulis, podcast, maupun konten audio visual. Program yang berlangsung secara daring pada 2–29 Mei 2025 ini mencakup tahap pengumpulan karya dan penjurian oleh tim profesional.
Dua mahasiswa Humas Unpad angkatan 2023, Lita Febrianti Erawan dan Ahmad Fariz Dhiyauddin, berhasil meraih predikat penulis terbaik dalam gelaran Maroon Submission X Tempo.co. Lita mengangkat tema tentang peran PR pemerintah di era digital dalam tulisannya yang berjudul “Public Relations Pemerintah di Era Konten: Pelayanan Komunikasi Publik atau Populisme Digital?” Sementara Ahmad Fariz menyoroti pentingnya fungsi kehumasan dalam sengketa ketenagakerjaan lewat artikel “Hilangnya Peran PR di Kasus PHK PT Yihong Novatez Indonesia.”
“Setelah melihat realita pekerjaan seorang PR officer yang banyak menulis dari para alumni, aku merasa program Maroon Submission ini membantu aku untuk berlatih menulis,” ungkap Lita, menyoroti pentingnya kesiapan teknis dalam profesi Humas.
Tak hanya soal menulis, Maroon Submission juga melatih mahasiswa Humas Unpad untuk memahami sudut pandang audiens, menyusun argumen yang kuat, serta menyunting tulisan berdasarkan masukan dari tim juri. Program ini juga menjadi media eksplorasi isu-isu aktual seperti budaya, lingkungan, dan tren digital yang lekat dengan dunia kehumasan.
Sebagai salah satu program unggulan Himpunan Mahasiswa Humas Unpad, Maroon Submission menjadi langkah konkret dalam mencetak generasi humas profesional yang siap menjawab tantangan komunikasi masa kini dan masa depan. Kolaborasi dengan media arus utama seperti Tempo.co juga memperkaya pengalaman mahasiswa dalam memahami dunia kerja secara nyata.
Berikut adalah tulisan Lita Febrianti Erawan yang berjudul “Public Relations Pemerintah di Era Konten: Pelayanan Komunikasi Publik atau Populisme Digital?”
Era digital yang kian pesat membawa perubahan signifikan pada komunikasi pemerintahan. Komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini bukan hanya melalui konferensi pers atau rilis resmi yang dikirimkan kepada media massa, melainkan juga melibatkan langsung para kepala pemerintahan sebagai figur digital yang aktif di media sosial. Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat yang mendapat julukan ‘gubernur konten’, merupakan salah satu contoh konkretnya.
Fenomena ini jelas menimbulkan perdebatan di tengah publik. Di satu sisi, strategi komunikasi yang diterapkan pemerintah saat ini merupakan langkah inovatif, mampu menjalin ikatan emosional dengan rakyat, dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang sedang menjabat. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran akan bergesernya tujuan komunikasi yang hanya berfokus pada pembangunan citra figur semata, bukan sebagai pelayanan komunikasi publik untuk menyampaikan transparansi kebijakan.
Kekhawatiran yang dirasakan oleh sebagian publik merupakan perasaan yang valid. Strategi komunikasi yang bergantung pada kekuatan narasi emosional berisiko menyeret praktisi komunikasi pemerintah—lebih spesifik lagi, praktisi public relations pemerintahan—ke dalam arus populisme digital. Dalam konteks ini, populisme digital mengacu pada gaya komunikasi yang menekankan kedekatan dengan rakyat melalui media digital dan membangun citra seorang figur sebagai sosok ‘juru selamat’ bagi masyarakat. Populisme di era digital saat ini ditandai dengan banyaknya konten figur politik yang lebih menonjolkan kinerja pribadi dibandingkan kelembagaan, serta menyederhanakan permasalahan yang dialami rakyat, sehingga menghasilkan kebijakan yang cenderung kontroversial.
Dari sudut pandang public relations, secara teknis strategi ini memiliki daya tarik karena mampu menarik perhatian publik dalam waktu singkat. Namun, strategi ini berisiko mengaburkan esensi komunikasi dalam praktik public relations itu sendiri. Grunig dan Hunt (1984) memperkenalkan empat model dalam praktik public relations, yaitu press agentry, public information, two-way asymmetrical, dan two-way symmetrical. Dari keempat model tersebut, Grunig dan Hunt mengklaim model two-way symmetrical atau komunikasi simetris dua arah sebagai model public relations yang paling ideal untuk diterapkan.
Dalam konteks public relations pemerintahan, model two-way symmetrical diterapkan dengan membangun komunikasi timbal balik yang seimbang antara pemerintah dan publik untuk menciptakan rasa saling pengertian, bukan sekadar untuk manipulasi atau persuasi. Dengan menerapkan model ini, praktisi public relations pemerintah tidak lagi berperan sebagai corong informasi institusi semata, melainkan juga sebagai fasilitator dialog dengan masyarakat. Public relations pemerintah harus mampu memproduksi konten yang dapat memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan literasi serta pemahaman kritis terhadap kebijakan yang diambil.
Era digital dengan hiruk pikuk konten viral menjadi tantangan tersendiri bagi praktisi komunikasi atau public relations pemerintah. Konten populis memang dapat mendongkrak citra dan kepercayaan publik terhadap figur pemerintah secara instan, namun lambat laun strategi ini akan menciptakan publik yang rentan terhadap manipulasi citra. Ketika public relations tidak lagi membangun pola komunikasi yang kritis antara pemerintah dan masyarakat, maka terciptalah hubungan yang penuh kesan, tetapi miskin substansi. Di titik inilah praktisi komunikasi atau public relations pemerintah seharusnya melakukan refleksi, bahwa komunikasi dengan rakyat tidak sebatas pada likes, views, ataupun survei sentimen, melainkan juga harus menciptakan pemahaman dan keterlibatan publik dalam pengambilan kebijakan.
Dan ini adalah tulisan Ahmad Fariz Dhiyauddin yang berjudul “Hilangnya Peran PR di Kasus PHK PT Yihong Novatez Indonesia.”
Awal bulan Maret lalu, tepatnya tanggal 1 hingga 4 Maret 2025, karyawan PT Yihong Novatex Indonesia melakukan aksi mogok kerja yang mengakibatkan penghambatan proses produksi dan membuat perusahaan tersebut merugi. Menurut Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnakertrans Jawa Barat, aksi mogok ini dipicu oleh dua tuntutan utama buruh PT Yihong. Pertama, para buruh menuntut kejelasan atas PHK sepihak yang dilakukan oleh manajemen perusahaan terhadap tiga karyawannya beberapa waktu sebelumnya. Kedua, mereka juga menuntut agar para buruh yang hanya terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diangkat menjadi pegawai tetap.
Menurut para buruh, pemecatan terhadap tiga karyawan tersebut disebabkan oleh vokalnya mereka dalam menyuarakan aspirasi buruh. Namun, PT Yihong menyangkal dan menjelaskan bahwa pemecatan ini dilandasi oleh tidak diperbaruinya kontrak kerja akibat kinerja tiga karyawan tersebut yang tidak mencapai target. Para buruh pun membantah, karena sebelum kejadian ini mereka telah bekerja keras bahkan melebihi jam kerja demi mencapai target produksi. Atas dasar kurangnya kejelasan inilah para buruh melakukan aksi mogok kerja selama empat hari, yang mengakibatkan keuangan perusahaan terpukul karena batalnya kerja sama dengan mitra bisnis.
Alih-alih berdiskusi dan mendengar aspirasi para karyawannya, pada tanggal 10 Maret 2025 PT Yihong Novatex Indonesia melakukan PHK terhadap 1.126 dari 1.500 karyawannya. Hal ini dilakukan dengan alasan terganggunya aktivitas bisnis akibat penurunan drastis jumlah pesanan. PHK massal ini memicu aksi protes di depan Kantor Bupati Cirebon, Jawa Barat, sehari setelah keputusan resmi perusahaan, yakni pada 11 Maret 2025. Para buruh mendatangi kantor Bupati Cirebon atas dasar pemecatan massal yang dinilai tidak sesuai dengan prosedur. Mereka menganggap bahwa perusahaan melakukan PHK secara sepihak tanpa kejelasan sedikit pun.
Konflik hubungan industrial yang terjadi antara PT Yihong dan para buruhnya menunjukkan adanya celah serius, yaitu kegagalan manajemen perusahaan dalam menjaga hubungan internal. Perusahaan tersebut mengambil langkah gegabah dengan memecat banyak karyawan, yang berdampak pada citra negatif perusahaan di mata publik. Padahal, kejadian ini dapat dicegah apabila perusahaan menanganinya dengan melibatkan peran PR (public relations).
Menurut Dozier (1995), terdapat setidaknya empat peran utama seorang PR dalam organisasi: Expert Prescriber, Communication Facilitator, Problem-Solving Process Facilitator, dan Communication Technician. Keempat peran ini menjelaskan fungsi spesifik yang dijalankan oleh praktisi PR dalam mendukung tujuan organisasi, termasuk dalam menangani krisis. Berikut penjelasan rinci peran-peran PR menurut Dozier (1995):
1. Expert Prescriber
Peran ini merujuk pada praktisi yang bertindak sebagai ahli dalam memberikan solusi terhadap masalah komunikasi organisasi. PR dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan untuk merumuskan strategi komunikasi yang tepat. Dalam konteks ini, manajemen organisasi cenderung mengikuti rekomendasi praktisi tanpa keterlibatan aktif dalam proses penyelesaian masalah.
2. Communication Facilitator
Praktisi yang menjalankan peran ini berfungsi sebagai penghubung (liaison) antara manajemen organisasi dengan publiknya. Tugas utama mereka adalah menciptakan peluang bagi komunikasi dua arah yang efektif, sehingga manajemen dapat mendengar masukan dari publik dan sebaliknya. Peran ini penting untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dan para pemangku kepentingan.
3. Problem-Solving Process Facilitator
Dalam peran ini, praktisi bertindak sebagai fasilitator dalam proses penyelesaian masalah komunikasi. Mereka bekerja sama dengan manajemen untuk mendiagnosis masalah, merancang proses sistematis, dan mengembangkan solusi yang melibatkan partisipasi aktif dari manajemen. Pendekatan kolaboratif ini menciptakan rasa kepemilikan (ownership) terhadap solusi yang dihasilkan.
4. Communication Technician
Peran ini berfokus pada aspek teknis produksi komunikasi, seperti menulis, mendesain, dan menyebarkan materi. Praktisi dalam peran ini berfungsi sebagai pelaksana teknis yang mengimplementasikan keputusan manajemen terkait komunikasi. Meskipun penting, peran ini cenderung tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan strategis organisasi.
Konflik hubungan industrial dalam kasus PT Yihong di atas sejatinya merupakan kondisi yang umum dialami oleh perusahaan-perusahaan besar. Perbedaan kepentingan antara pengusaha dan pekerja sering kali terjadi, karena perusahaan memiliki tuntutan bisnis, sementara pada saat yang sama mereka juga harus memperhatikan kesejahteraan karyawan. Di sinilah peran PR sangat dibutuhkan untuk menjadi jembatan penghubung antara perusahaan dan publiknya—dalam kasus ini, para buruh—guna menjembatani ide dan usulan kedua belah pihak.
Sebagai perusahaan multinasional, PT Yihong seharusnya mampu menangani kasus ini dengan melibatkan peran PR. Hal ini karena PR merupakan pihak yang paling tepat untuk mengelola krisis sesuai dengan fungsi-fungsinya. Dalam kasus ini, peran ganda seorang PR dibutuhkan, yaitu sebagai pemecah masalah sekaligus fasilitator komunikasi. Tujuannya agar komunikasi dapat terjalin secara efektif, perusahaan mampu mengambil langkah strategis berdasarkan situasi dan kondisi yang ada, serta meminimalkan kemungkinan terjadinya krisis lanjutan di masa depan. (*)