Abdul Ghafur, Pelaksana Harian Direktur Organisasi Masyarakat (Ormas) Kementerian Dalam Negeri, membuka acara dengan menyampaikan dukungannya terhadap kolaborasi antara The Habibie Center dan Ford Foundation. “Kolaborasi ini diharapkan dapat mendorong Ormas untuk bergerak sejalan dengan visi pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam mewujudkan ketahanan energi dan pangan,” ujar Ghafur.
Maryati Abdullah, Program Officer Natural Resource and Climate Change dari Ford Foundation Indonesia, menekankan pentingnya peran Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim global. Ia menyatakan, “Ford Foundation mendukung penuh upaya transisi energi Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE), termasuk melalui pengurangan bahan bakar fosil dan peningkatan efisiensi energi.”
Sementara itu, Mohammad Hasan Ansori, Direktur Eksekutif The Habibie Center, menegaskan bahwa transisi energi bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga mencakup nilai-nilai demokrasi. “Prinsip keadilan, partisipasi, dan inklusivitas harus menjadi pilar utama dalam setiap langkah transisi energi,” kata Ansori.
Pidato Kunci dan Diskusi Panel
Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, dalam pidato kuncinya berjudul Pengembangan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas untuk Mencapai Target Emisi Nol-Bersih, menggarisbawahi peran komunitas lokal. “Masyarakat setempat, khususnya di daerah 4T, memiliki peran krusial dalam menjaga keberlanjutan infrastruktur energi baru terbarukan,” kata Eniya.
Advertising
Advertising
Pada sesi diskusi panel, Ruddy Gobel, Senior Policy Adviser Centre for Policy Development, mengajak peserta untuk melihat transisi energi dari perspektif sosial. “Kita sering lupa bahwa transisi energi adalah soal hak asasi manusia. Proses ini harus mengutamakan kesejahteraan masyarakat,” tegas Ruddy.
Andrinof Achir Chaniago, Dosen Universitas Indonesia, menyoroti tantangan besar dalam penutupan PLTU batu bara. “Kita harus memastikan alternatif energi tersedia secara memadai sebelum menghentikan PLTU agar tidak mengorbankan prioritas nasional,” paparnya.
Filda Citra Yusgiantoro, Dosen Universitas Atma Jaya sekaligus Ketua Purnomo Yusgiantoro Center, menyampaikan pentingnya perlindungan terhadap kelompok rentan dalam transisi energi. “Hak perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat harus menjadi perhatian utama dalam kebijakan energi,” jelas Filda.
Irvan Tengku Harja, peneliti The Habibie Center, mengkritisi struktur subsidi energi fosil yang kurang tepat sasaran. “Subsidi fosil yang tidak tepat hanya akan memperpanjang ketergantungan kita pada bahan bakar tak terbarukan,” katanya. Irvan juga menekankan perlunya reklamasi pascatambang batu bara untuk memastikan dampak ekonomi berkelanjutan di masa depan.
Geger Riyanto, pengajar Universitas Indonesia, menyimpulkan diskusi dengan menyoroti tantangan trilema energi: keamanan, keterjangkauan, dan keberlanjutan. “Transisi energi adalah peluang untuk menata ulang sistem energi kita agar lebih adil dan berkelanjutan,” ujarnya.
Acara ditutup oleh Yodie Indrawan, Pj. Tim Kerja Pendaftaran dan Sistem Informasi Ormas, Kemendagri. Ia menegaskan perlunya regulasi yang mendukung transisi energi berkeadilan. “Transisi ini harus sejalan dengan prioritas nasional dan melibatkan masyarakat di semua lapisan,” pungkas Yodie.
Seminar ini menjadi ajang penting untuk mempertemukan berbagai pemangku kepentingan dalam membangun strategi transisi energi yang inklusif dan berkeadilan di Indonesia. The Habibie Center mengundang seluruh pihak untuk berkolaborasi dalam mendukung transformasi energi demi keberlanjutan masa depan.
Narahubung:
Dewi Isma Rikya Ihsan (Communication Officer)
0823-1483-8842 / dewi@habibiecenter.or.id (*)