Webinar Demokrasi di Masa Pandemi: Oligarki Menguat, Aktivis Masyarakat Madani Perlu Rekonsolidasi
Editor
Yefri
Jumat, 4 September 2020 17:10 WIB

INFO EVENT - Public Virtue Institute (PVI), sebuah lembaga kajian di bidang demokrasi, mengingatkan pemerintah dan semua pihak agar menjamin diskusi warga di ruang publik dapat berlangsung aman. Hal ini penting agar setiap warga dapat secara bebas mengutarakan pendapatnya.
Dampak Covid-19 memang multidimensi. Berbagai bidang mengalami gejolak. Pandemi bukan semata persoalan kesehatan, tetapi berdampak meluas pada sektor lain, termasuk iklim dan praktik demokrasi di berbagai belahan dunia.
Melukiskan situasi itu, Gerry van Klinken, Profesor Sejarah Queensland University Australia mengatakan: “Dunia kini sepertinya terkena perang terbuka antara khayal dan nalar. Di Eropa, Amerika maupun di Asia, di tengah kampanye maupun pandemik, facebook sarat dengan khayalan gelap. Apakah “berpikir” masih menjanjikan kecerahan?”. Gerry menjadi salah satu pembicara dalam diskusi “Ironi Ruang Publik, Demokrasi di Masa Pandemi’ yang diselenggarakan Public Virtue bekerjasama dengan Erasmus Huis.
Banyak pemerintahan di dunia gamang menghadapi pandemi. Mengharapkan pemerintah saja tidaklah cukup. Menurut Ardi Stoios-Braken, Charge d’Affaires a.i., Kedutaan Besar Belanda, “Penanganan krisis pandemi korona yang kompleks secara efektif menuntut semua sektor dalam masyarakat saling bekerja sama: pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta. Sejauh mana masing-masing sektor ini diberikan ruang yang cukup memainkan peran mereka merupakan ekspresi dari kekuatan demokrasi’, ujarnya sebagai salah satu panelis dalam webinar.
Lalu, dampak Covid-19 terhadap iklim dan praktik demokrasi di Indonesia juga dirasakan publik. Survey LP3ES yang meminta pendapat dari 38 kalangan elit masyarakat menyebut kualitas demokrasi Indonesia menurun. Kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan pers mengalami ujian berat. Situs-situs Tempo, Tirto.id, dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mengalami serangan siber mendadak dari pihak-pihak yang ini belum terungkap. Pengamat menyebut ini adalah bentuk-bentuk otoritarian baru, pembungkaman dengan memanfaatkan teknologi, sekaligus ancaman nyata terhadap demokrasi.
Anita Wahid, salah satu pembicara, dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) menyayangkan hal ini. Anita mengatakan, “Di dalam demokrasi, ruang publik yang sehat harus memastikan kebebasan berpendapat dan berekspresi dibuka seluas-luasnya. Oleh karenanya, usaha membungkam pandangan yang berbeda melalui berbagai cara akan sangat berdampak pada penurunan kualitas demokrasi”.
Sementara itu sosiolog Dr. Tamrin Amal Tomagola yang merupakan Ketua Penasehat Public Virtue, berpendapat merosotnya demokrasi di Indonesia terjadi karena menurunnya mutu ruang publik akibat kepentingan oligarki. “Ruang percakapan kewarganegaraan publik sekarang ini tercekik oleh konsolidasi elit oligarki di satu pihak dan diperparah oleh kelesuan-darah masyarakat Madani di pihak lain, telah menyebabkan terjadinya baik defisit kuantitas partisipasi maupun kualitas diskursus demokrasi.“ ujarnya menegaskan.
Oleh karena itu, menurut Tamrin, perlu segera ada upaya rekonsolidasi masyarakat madani untuk menggairahkan kembali baik kuantitas partisipasi maupun kualitas diskursus demokrasi, sekaligus merebut ruang publik dari cengkeraman oligarki dan pasukan pendengungnya.
Pernyataan-pernyataan tersebut disampaikan dalam acara yang dihelat pada Jumat, 4 September, pukul 13.00-15.00 WIB di sebuah acara peluncuran buku dan diskusi berjudul “Ironi Ruang Publik: Demokrasi Masa Pandemi“. Ini adalah edisi perdana dari Seri Diskusi Demokrasi yang akan digelar sejak September hingga November 2020. Di acara ini, Public Virtue juga meluncurkan dua buah buku tentang pentingnya peran intelektual dalam menjaga kehidupan demokrasi. Buku pertama berjudul “Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi”, yang kedua berjudul “Menolak Matinya Intelektualisme”. Untuk mendukung kebijakan “jaga jarak”, acara ini disiarkan secara langsung melalui akun YouTube: E-rasmus Huis.
Acara diskusi sekaligus buku mengenang AE Priyono diisi dengan pembicara kunci Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Mahfud adalah sahabat almarhum Priyono ketika aktif di Himpunan Mahasiswa Islam dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Muhibbah Universitas Islam Indonesia (UII) pada 1980-an. Dalam keterangannya terkait acara ini, Mahfud menyatakan demokrasi adalah pilihan terbaik untuk Indonesia. Namun menurut dia, saat ini banyak pihak menempatkan pemerintah dalam posisi “serba salah”. “Apapun yang pemerintah lakukan oleh sekelompok tertentu selalu dianggap salah. Namun demikian, apapun yang terjadi, negara harus tetap menjaga demokrasi tetap berjalan, dan bisa memenuhi harapan publik”, tegasnya.
Acara yang dipandu politisi dan artis Wanda Hamidah menghadirkan pembicara dari pemerintah, aktivis dan juga akademisi. Mereka adalah Ardi Stoios-Braken, Charge d’Affaires a.i., Kedutaan Besar Belanda, Gerry van Klinken, profesor sejarah University of Queensland, Ketua Penasehat Public Virtue Tamrin Amal Tomagola, dan Anita Wahid, anggota Presidium Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia).
Buku A.E. Priyono disusun bersama oleh Yayasan Kurawal, UII, Publik Baru, Esoterica-Forum Spiritualitas dan diterbitkan oleh Mizan itu disusun untuk mengenang jejak intelektual dan pemikiran A.E. Priyono yang meninggal dunia pada 12 April 2020. Priyono pernah menjadi peneliti di LP3ES yang dipimpin oleh Aswab Mahasin dan Demos yang dipimpin oleh Asmara Nababan.
(*)