Info Event - The Habibie Center menggelar kembali Habibie Democracy Forum pada 12-13 November 2024 di Sasono Mulyo Ballroom, Hotel Le Meridien, Jakarta Pusat, dengan tema “Memperkuat Ketahanan Demokrasi: Memajukan Governansi Inklusif dan Partisipasi Warga Negara yang Bermakna.” Forum ini hadir sebagai ruang strategis untuk membahas beragam tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia dalam menjaga keberlanjutan demokrasi.
Acara ini dibuka oleh Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center, bersama Nadia Habibie, M.Sc., Sekretaris Dewan Pengurus. Dalam sambutannya, mereka menyampaikan bahwa forum ini adalah bagian dari upaya meneruskan visi demokrasi yang dicita-citakan B.J. Habibie, sosok yang sangat menghargai demokrasi sebagai cara hidup yang menghormati partisipasi seluruh warga tanpa memandang latar belakang.
Mengawali acara, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud MD, menyampaikan pidato kebangsaan. Mahfud menyoroti pentingnya keberlanjutan demokrasi Indonesia dengan berlandaskan konstitusi dan hukum. Ia menyampaikan bahwa demokrasi yang hanya prosedural tanpa penegakan hukum dapat berujung pada kekacauan, sementara hukum tanpa demokrasi menjadi tirani. Mahfud menggarisbawahi bahwa Indonesia memerlukan komitmen kuat dari para pemimpin, terutama presiden, untuk menjaga keseimbangan antara hukum dan demokrasi.
Setelah pidato kebangsaan, acara dilanjutkan dengan Panel Kebangsaan yang mengangkat topik “Desentralisasi, Governansi Inklusif, dan Partisipasi Warga Negara yang Bermakna untuk Pemberdayaan Masyarakat.” Diskusi panel ini dipimpin oleh Prof. Dr. Firman Noor dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang juga merupakan Associate Fellow The Habibie Center. Panel ini diisi oleh sejumlah tokoh penting, yaitu Julian Aldrin Pasha, M.A., Ph.D., Bivitri Susanti, S.H., L.L.M., Fiona Wiputri, dan Sandrayati Moniaga, S.H., masing-masing membawakan perspektif unik terkait desentralisasi, partisipasi warga, peran media, hingga hak asasi manusia.
Julian Aldrin Pasha, Ketua Institut untuk Demokrasi dan Hak Asasi Manusia The Habibie Center, mengangkat poin bahwa desentralisasi dapat mendorong tata kelola yang lebih inklusif, dengan memberikan otonomi lebih pada pemerintah daerah. Julian mencontohkan India dengan sistem panchayati raj yang memberi kekuasaan pada pemerintah desa untuk mengelola hak informasi publik. Selain itu, Jerman dengan lembaga audit independennya dan Brasil yang mengalokasikan dana bersama partisipasi masyarakat menjadi contoh praktik terbaik yang relevan. Menurut Julian, korupsi sering terjadi akibat distribusi kekuasaan yang tidak merata, dan desentralisasi bisa menjadi solusi jika dilengkapi transparansi serta akuntabilitas. Namun, di Indonesia, kemauan politik untuk benar-benar melaksanakan desentralisasi dengan prinsip ini masih tergolong lemah.
Bivitri Susanti, seorang ahli hukum dan anggota Pokja Reformasi Perundang-Undangan, menyoroti bahwa demokrasi yang kuat harus diiringi oleh partisipasi publik yang bermakna, bukan hanya simbolis. Menurut Bivitri, partisipasi yang substansial harus memenuhi tiga syarat yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi, yakni bahwa masyarakat berhak didengar, dipertimbangkan, dan mendapat tanggapan atas masukan mereka. Demokrasi yang mengakomodasi aspirasi warga akan memberikan dampak nyata, terutama bagi masyarakat yang terdampak langsung oleh kebijakan pemerintah. Ia juga mengingatkan pentingnya pendidikan publik agar masyarakat memiliki pengetahuan dan keberanian untuk menyampaikan pandangan mereka secara kritis dan sopan.
Fiona Wiputri, Manajer Multimedia di Konde.co, menyampaikan bahwa media alternatif memiliki peran penting sebagai kontra-hegemoni terhadap media arus utama yang kerap dikuasai oleh kepentingan politik dan cenderung didominasi nilai-nilai maskulin serta elitis. Menurut Fiona, media alternatif dapat menjadi watchdog yang mengawasi pemerintah dan memastikan transparansi dalam pengambilan keputusan. Kendati demikian, media alternatif masih menghadapi tantangan berat, seperti keterbatasan dana, dominasi patriarki yang toxic, dan kurangnya konsolidasi di antara organisasi masyarakat sipil. Fiona berharap agar media alternatif bisa lebih berkolaborasi dengan organisasi masyarakat untuk meningkatkan pendidikan politik bagi publik.
Sandra Moniaga, mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, membahas kendala yang dihadapi kelompok terpinggirkan dalam berpartisipasi dalam proses kebijakan. Menurut Sandra, marginalisasi sering kali diabaikan dalam dokumen hukum, padahal partisipasi bermakna dari masyarakat adat, misalnya, sangat penting dalam menjaga hak-hak mereka. Sandra menyoroti kasus kriminalisasi masyarakat adat yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir, meskipun putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 sudah memulihkan hak masyarakat atas hutan. Namun, situasi ini kembali memburuk seiring dengan menguatnya elit politik lokal dan nasional yang kerap mencabut hak-hak warga, mencerminkan demokrasi yang kian rentan terhadap infiltrasi oligarki dan intimidasi.
Menghadapi Tantangan Demokrasi Global
Habibie Democracy Forum tahun ini juga menggarisbawahi pentingnya ketahanan demokrasi dalam menghadapi ancaman global. Data dari Freedom House, Varieties of Democracy, dan Economist Intelligence Unit menunjukkan bahwa otokrasi terus menguat di banyak negara, termasuk penurunan kebebasan berpendapat dan kriminalisasi terhadap aktivis di Indonesia. Untuk melawan arus ini, The Habibie Center berupaya memperkuat peran lembaga-lembaga demokrasi yang inklusif dan akuntabel, serta meningkatkan peran media, masyarakat sipil, dan think tank dalam memastikan transparansi pemerintahan.
Dengan agenda dua hari yang padat, Habibie Democracy Forum 2024 melibatkan para pakar dari berbagai bidang untuk membahas kebijakan inklusif dalam isu-isu penting, seperti transisi energi dan pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan. Forum ini diharapkan mampu mendorong kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan media untuk memperkuat ketahanan demokrasi di Indonesia.
Nadia Habibie, mewakili keluarga besar Habibie, menegaskan bahwa warisan demokrasi dari B.J. Habibie akan terus dipertahankan, dengan menjunjung tinggi partisipasi seluruh warga negara, tanpa memandang latar belakang. Komitmen ini adalah upaya untuk mewujudkan Indonesia yang desentralistik, inklusif, dan partisipatif, di mana setiap warga memiliki suara dalam menentukan masa depan bangsa. (*)