INFO EVENT - Bisa disebut Panembahan Reso yang disutradarai Hanindawan ini adalah versi padat dari naskah asli Panembahan Reso. Bila Panembahan Reso pada tahun 1986 disajikan oleh Rendra selama kurang lebih 6 jam, maka pentas kali ini berdurasi sekitar 3 jam. Betapapun demikian tidak ada tokoh di naskah asli yang dihilangkan. Tidak ada konflik-konflik yang dilenyapkan. Sebagaimana dikatakan sutradara Hanindawan - ibarat sungai, yang dia tampilkan dalam versi padat ini adalah arus utama konflik.
Gagasan untuk memanggungkan kembali Panembahan Reso bermula dari sebuah obrolan ringan di sebuah sore di Taman Ismail Marzuki, pertengahan tahun lalu. Sembari menyedu kopi - kami dan Edi Haryono membicarakan apa yang bisa diperbuat di tahun 2019 itu untuk mengenang Rendra. Seperti diketahui tahun 2019 adalah tepat 10 tahun wafatnya Rendra. Edi Haryono sendiri adalah anggota senior Bengkel Teater. Dia bermain sebagai Pangeran Rebo dalam pementasan Reso tahun 1986.
Muncullah ide untuk mementaskan Panembahan Reso - yang sejak tahun 1986 itu tak pernah dipanggungkan lagi. Namun soalnya Bengkel Teater telah lama vakum. Siapa yang bisa diajak menyajikan Panembahan Reso? Lalu muncul gagasan agar pementasan dilakukan oleh aktor-aktor gabungan dari berbagai kota. Termasuk beberapa anggota eks Bengkel Teater. Itu sebagai bentuk penghormatan akan Rendra, yang memang banyak memiliki pengaruh dimana-mana.
Rendra adalah dramawan yang lahir di Solo. Pada masa-masa akhir hidupnya ia juga banyak menetap di Solo. Timbul ide bagaimana bila pementasan ini yang menjadi jantungnya adalah aktor-aktor Solo? Naskah Panembahan Reso yang pada intinya berbicara tentang konflik kekuasaan dan suksesi berdarah di sebuah kraton juga bukanlah tema asing di Solo – kota yang masih kuat dengan pertunjukan teater tradisi seperti ketoprak. Akhirnya kami menghubungi Hanindawan, yang merupakan sutradara Teater Gidag Gidig Solo.
Hanindawan setuju dengan gagasan ini. Ia kemudian dibantu oleh Sosiawan Leak dan Esha Karwinarno mengumpulkan aktor-aktor Solo mulai dari Gigok Anurogo, Meong Purwanto, Sruti Respati, Dedek Witranto sampai Djarot B Darsono. Aktor-aktor lain dari berbagai kota kemudian juga bersedia bergabung. Antara lain misalnya Whani Darmawan dan Jamaludin Latif dari Yogja. Serta aktris Sha Ine Febriyanti, Ruth Marini (Teater Satu Lampung), Rudolf Puspa dan Maryam Supraba – dari Jakarta yang tak lain adalah putri Rendra sendiri.
Untuk masalah pendanaan kami menghubungi beberapa teman untuk merealisasi gagasan ini. Salah satunya Auri Jaya. Auri mantan wartawan Jawa Pos yang pernah bermukim sebagai korespoden Jawa Pos di Berlin. Ia tertarik akan gagasan penghormatan terhadap Rendra ini. Dan ia bersedia membantu untuk mengorganisir dana untuk pementasan.
Tentu saja pertama-tama untuk pementasan ini, dilakukan kerja penyuntingan naskah Panembahan Reso agar bisa disajikan 3 jam. Kerja ini ternyata memakan diskusi yang alot dan waktu lama. Proses penyuntingan dilakukan antara Hanindawan, kami dibantu oleh konsultan Iwan Burnani Toni, anggota senior Bengkel teater yang merupakan asisten sutradara Rendra saat Panembahan Reso dipentaskan tahun 1986. Juga dibantu oleh kritikus seni Bambang Bujono, yang menonton pentas Panembahan Reso pada tahun 1986. Ken Zuraida selaku istri Rendra mengizinkan untuk penyuntingan ini, karena memang hal-hal yang prinsip tetap terjaga.
Latihan lakon Panembahan Reso versi padat ini dari awal sampai akhir dilakukan di pendapa Wisma Seni, Taman Budaya Jawa Tengah, Solo. Sesungguhnya sebagaimana dikatakan Hanindawan, Panembahan Reso adalah drama kata. Karena seluruh naskah ini bertumpu pada dialog-dialog dan solilokui-solilokui. Panembahan Reso dibuka dengan monolog tokoh utama Panji Reso dan berakhir dengan kematian tokoh utama Panembahan Reso. Panembahan Reso bercerita tentang Raja Tua yang tidak memiliki permaisuri utama tapi memiliki tiga selir (garwa ampil): Ratu Dara, Ratu Padmi dan Ratu Kenari. Tiap selir memiliki anak-anak sendiri. Antar selir dan anak itu saling berkompetisi menggantikan ayahnya. Panji Reso memanfaatkan konflik antar selir dan anak Raja Tua untuk kepentingannya sendiri.
Agar pertunjukan ini tidak semata-mata menjadi drama kata, Hanindawan dan Yessy Apriati, selalu Pimpinan Produksi mengusulkan agar melibatkan koreografi. Penata tari Hartati kemudian bersedia bergabung. Hartati, penata tari yang banyak mendalami silat. Sementara untuk musik sedari awal, kami memilih Dedek Wahyudi yang pernah menangani pementasan Bengkel Teater: Perjuangan Suku Naga. Akan halnya untuk kostum Retno Ratih Damayanti, yang biasa menangani film-film kolosal Hanung Bramantyo dan Garin Nugroho bersedia terlibat. Seluruh gagasan artistik ini dikordinasi oleh piñata artistik Sugeng Yeah dari Solo. Bisa disebut pementasan ini merupakan kolaborasi sederhana antara teater, tari dan musik.
Tak mudah mewujudkan kolaborasi dengan aktor dari berbagai kota. Latihan di Solo, membuat para aktor dari Yogja dan Jakarta membagi waktunya secara khusus. Betapapun demikian, akhirnya bisa terjadi. Itu menunjukkan bahwa penghormatan terhadap Rendra merupakan motor utama yang menggerakkan aktor. Pada bulan September 2019, Ciputra Artpreneur bersedia bekerja sama untuk pementasan ini. Almarhum Ciputra dan almarhum Rendra, semasa hidupnya saling mengenal dan saling menghargai. Semoga tontonan ini bisa bermakna bagi upaya-upaya kerja teater. Karena mengenang Rendra berarti mengenang puncak-puncak karya seni Indonesia. Dan mengenang Rendra adalah mengenang bahwa kerja teater adalah kerja yang bermartabat dan berharga.
Seno Joko Suyono dan Imran Hasibuan