Info Event - Krisis iklim, yang tak jarang disebut perubahan iklim, jauh dari kata adil. Warisan kolonialisme yang panjang, ditambah model ekonomi ekstraktivisme, telah memperlebar jurang kesenjangan yang ada. Mirisnya, mereka yang memiliki andil terkecil dalam penyebab krisis iklim justru menanggung dampak terparah akibat kerusakan alam. Perempuan, dengan segala keragaman identitasnya, adalah salah satu kelompok yang paling rentan terhadap guncangan krisis iklim ini.
Ketergantungan perempuan pada hasil pertanian dan sumber daya alam untuk penghidupan diri dan keluarga mereka seringkali menjadi bumerang. Beban ini diperparah oleh budaya patriarki, yang menempatkan tanggung jawab penyediaan makanan dan air bersih bagi keluarga di pundak perempuan. Di daerah terpinggirkan, kelangkaan air akibat krisis iklim berarti perempuan harus menempuh jarak lebih jauh dan memasuki area yang lebih rawan, hanya demi mendapatkan akses air bersih bagi keluarganya.
Ironisnya, meskipun paling terdampak, perempuan seringkali disisihkan dari proses pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan iklim. Akibatnya, kebijakan iklim kerap kehilangan sensitivitas gender. Contohnya, saat bencana alam terjadi, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan penanggulangan bencana masih minim. Konsekuensinya, banyak upaya adaptasi dan mitigasi krisis iklim yang gagal menyentuh inti permasalahan yang dihadapi perempuan, bahkan terkadang justru memperdalam kesenjangan yang sudah ada.
Melawan Arus: Inisiatif Perempuan dari Akar Rumput
"Sebagai perempuan yang berjuang, tantangannya tidak hanya dari luar. Seringkali, suara perempuan dipandang sebelah mata. Ketika rapat, kami hanya disuruh menyeduh kopi,” cerita Asmania dari Perempuan Pulau Pari dalam acara "Puan Bercerita di Ruang Setara dan Lestari." Kisah serupa diamini oleh Iren Fatagur, perempuan adat Keerom dari FAMM Indonesia. “Ketika menyuarakan pendapat, saya pernah mendengar, perempuan jangan berbicara, lelaki sudah membuat keputusan.”
Baca juga:
Namun, hambatan struktural dan budaya ini tak lantas mematahkan semangat banyak perempuan seperti Iren dan Asmania. Mereka justru menjadi motor penggerak inisiatif iklim, berdiri sebagai tonggak perubahan nyata di komunitasnya. Asmania, misalnya, mengorganisir dan membentuk kelompok Perempuan Pulau Pari, yang aktif menanam bakau untuk mencegah abrasi dan membersihkan pantai demi mendukung pariwisata warga. Di Keerom, Iren juga memimpin inisiatif penanaman bersama Mama-Mama, membuat obat tradisional, hingga akhirnya perempuan di sana berhasil terlibat dalam musyawarah di kampung.
Farwiza Farhan, aktivis iklim dari Yayasan HAkA, menegaskan bahwa perempuan “Harus menjadi perempuan keras kepala yang percaya bahwa perubahan itu milik kita.” Sebuah kalimat yang membakar semangat juang.
"Ruang Setara dan Lestari": Menggaungkan Keadilan Iklim Berbasis Gender
Menjawab urgensi ini, Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis) menginisiasi "Ruang Setara dan Lestari", sebuah acara yang diselenggarakan pada 13-14 Juni 2025. Inisiatif ini menciptakan wadah untuk memastikan cerita-cerita mengenai perempuan dalam krisis iklim tidak terlewatkan atau dilupakan. Dirancang sebagai ruang kolaborasi bagi organisasi dan komunitas gender dan iklim, "Ruang Setara dan Lestari" tak hanya menghadirkan serangkaian diskusi mendalam, tetapi juga Pameran Komunitas, pameran seni "Merawat Keresahan Bumi", penayangan film "Mendadak Sinema", panggung seni "Panggung Setara", bahkan permainan interaktif seperti "Tur Tara Tari".
Di "Ruang Setara dan Lestari", pesan utama digemakan: aksi iklim yang adil haruslah sensitif gender, dan wajib melibatkan seluruh pemangku hak, termasuk perempuan. Berkolaborasi dengan lebih dari 20 organisasi dan komunitas yang bergerak di isu gender dan iklim, acara ini hadir sebagai ruang alternatif yang kuat untuk menggaungkan inisiatif dan aksi iklim yang tidak hanya peka gender, tetapi juga berpihak pada mereka yang selama ini terpinggirkan. (*)